Indonesia merupakan negara tropis yang saat ini menghadapi beban penyakit ganda mengenai penyakit menular yang masih belum teratasi, namun kasun Non Communicable Disease (NCD) atau Penyakit Tidak Menular (PTM) juga mengalami peningkatan. Pola penyebaran penyakit sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, perilaku masyarakat, demografi, teknologi, ekonomi, dan sosial budaya. Peningkatan beban PTM dibarengi dengan peningktan faktor risiko seperti peningkatan tekanan darah, kadar glukosa, koleserol, indeks massa tubuh (obesitas), pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi alkohol.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, stroke, anemia, dan penyakit lainnya dipengaruhi oleh faktor genentik memiliki potensi risiko terhadap kejadian anak yang memiliki tubuh pendek (stunting). Penelitian lainnya pada beberapa dekade terakhir menemukan bahwa kondisi ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan interaksi faktor genetik dan non genetik 1000 hari pertama kehidupan. Catch up growth pada anak stunting menunjukkan bahwa percepatan pertumbuhan terjadi pada masa remaja. Pertambahan berat badan yang cepat pada periode ini juga menimbulkan risiko terjadinya obesitas.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2020, diketahui terdapat 149,2 juta anak balita menderita stunting, 45,5 juta anak kurus (wasting) dan 38,9 juta anak kelebihan berat badan (overweight). Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi stunting secara global menurun menjadi 21,6% pada tahun 2022 dibandingkan dengan masing-masing 24,4% dan 27,7% pada tahun 2021 dan 2019. Namun angka ini tentunya belum memenuhi ketentuan WHO yang menargetkan <20% kejadian stunting. Percepatan penurunan stunting mencakup intervensi spesifik dan sensitif yang dilaksanakan secara fokus holistik, terpadu, dan berkualitas melalui upaya multidisiplin di tingkat pusat, daerah, dan desa.
Asupan gizi yang buruk selama proses tumbuh kembang anak dapat menggangu kesehatan sehingga berisiko menghambat pertumbuhan (tumbuh pendek) yang dikenal dengan stunting. Hal ini menyebabkan perkembangan fisik, motorik, emosi, kognitif, dan psikologis pada anak menjadi terhambat serta meningkatkan risiko kesakitan terutama penyakit infeksi bahkan kematian. Dampak jangka panjang terkait jumlah kejadian stunting yang tinggi di suatu negara yaitu produktivitas dan perkembabangan sosial ekonomi menjadi rendah. Salah satu sasaran pembangunan kesehatan di Indonesia pada tahun 2030 yaitu menurunkan angka prevalensi balita dengan kategori kurang gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan sumber daya manusia.
Faktor penyebab kejadian stunting di Indonesia berkaitan erat dengan status ekonomi masyarakat yang masih rendah, asupan gizi yang belum memadai terutama dimasa 1000 hari pertama kehidupan, pengetahuan ibu tentang stunting atau pola asuh mengenai pemberian makan bayi dan anak (PMBA) yang masih rendah. Hal ini menjadi perhatian pemerintah dalam upaya menurunkan angka kejadian stunting yaitu dengan menurunkan angka balita dengan gizi buruk dan perawatan balita gizi buruk.
Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia masih tinggi sebesar 48,9% yang disebabkan oleh kekurangan zat besi (Fe). Anemia merupakan suatu keadaan seseorang yang memiliki kadar hemoglobin yang rendah sehingga dapat mengganggu distribusi oksigen ke seluruh tubuh. Kadar hemoglobin yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator kualitas kesehatan dan gizi seseorang yag rendah. Hal ini erat berkaitan dengan kejadian stunting pada ibu hamil dengan kondisi anemia. Angka kejadian stunting di Kabupaten Sleman tahun 2022 yaitu 14,9%. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penyuluhan mengenai stunting dan pemeriksaan antropometri pada wanita usia subur untuk dapat mengetahu dan memahami faktro risiko untuk mencegah kejadian stunting dan meningkatkan pertumbuhan dan perembangan anak menjadi optimal.
© 2024, IY Web Dev – Selopamioro Sehat